WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Â Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
GARUT 5 Desember 2025.Konflik mengenai keabsahan enam Raperda kembali menyeruak setelah proses pengesahan dalam Sidang Paripurna DPRD Garut, Jumat (28/11), dinilai mengandung cacat prosedur serius.
Absensi tercatat 40 anggota hadir, namun hanya 17 orang yang benar-benar berada di ruang sidang. Ketika palu ketua sidang diketuk pukul 08.15 WIB, jumlah anggota yang tersisa tinggal 14.
Padahal sesuai PP 12/2018 Pasal 97 ayat (1), paripurna hanya sah bila dihadiri lebih dari setengah anggota DPRD, yakni minimal 26 orang dari total 50 anggota.
Ketua Gerakan Integritas Pengawas Sistem (GIPS) Garut, Ade Sudrajat, menyoroti keras dugaan manipulasi ini.
> “Angka di absensi 40, bangku terisi 17, palu diputus 14. Itu bukan kuorum—itu rekayasa administrasi. Produk legislasi yang lahir dari prosedur cacat tidak punya legitimasi,” ujarnya.
Sorotan Serius: Legislator Tinggalkan Sidang, BK Dituding Mandul
Temuan GIPS menyebut sejumlah anggota DPRD keluar dari ruang sidang, duduk di kafe sekitar gedung, hingga tidak kembali saat agenda finalisasi.
> “Ini bukan sekadar pelanggaran etik. Ini merusak martabat lembaga. Legislasi bukan ritual titip absen,” tegas Ade.
Ia menuding Badan Kehormatan (BK) DPRD Garut tidak menjalankan mandat pengawasan etik, sebagaimana diatur PP 12/2018 Pasal 119–124.
> “Ketika perilaku seperti ini dibiarkan, kita layak bertanya: Badan Kehormatan masih berfungsi atau hanya papan nama?”
GIPS Layangkan 3 Desakan Nasional: Transparansi, Pemeriksaan, dan Perbaikan Sistemik
GIPS merumuskan tiga tuntutan utama:
1. Kehadiran faktual harus jadi dasar kuorum, bukan sekadar absensi administratif.
2. BK DPRD wajib memeriksa seluruh anggota yang meninggalkan sidang tanpa alasan konstitusional.
3. Publikasi rekaman sidang dan daftar kehadiran real-time untuk memastikan transparansi proses legislasi.
Ade menilai keputusan strategis seperti APBD yang diputus oleh hanya 14 anggota adalah “preseden buruk bagi demokrasi lokal dan cermin kegagalan disiplin politik.”
Potensi Lanjutan: GIPS Siap Laporkan ke Mendagri hingga Ombudsman
Ade menegaskan pihaknya tengah menyiapkan tindakan hukum bertingkat, mulai dari pengawasan administrasi hingga pelaporan ke lembaga pusat.
Menurutnya, terdapat beberapa jalur yang dapat ditempuh:
1. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Berwenang membatalkan produk legislasi daerah yang cacat prosedur, termasuk Raperda dan APBD.
2. Ombudsman RI
Menilai ada indikasi maladministrasi dalam pencatatan kehadiran dan tata cara persidangan.
3. Dewan Kehormatan Partai Politik
Karena setiap anggota DPRD adalah kader parpol, maka partai dapat menjatuhkan sanksi hingga usulan PAW.
4. Laporan Pidana (Jika Ada Unsur Pemalsuan Administrasi)
Jika ditemukan manipulasi absensi atau rekayasa data kehadiran, jalur pidana dapat ditempuh.
> “Kalau internal DPRD tidak mampu menegakkan etik, maka mekanisme pengawasan nasional harus turun. Ini bukan hanya soal Garut—ini soal standar demokrasi daerah,” kata Ade.
Gelombang Pengawasan Baru
GIPS memastikan akan merilis laporan pemantauan formal dalam waktu dekat dan membuka kanal aduan publik untuk mengumpulkan bukti tambahan terkait praktik absensi fiktif dan dugaan penyimpangan tata tertib.
Ade menutup dengan pernyataan keras:
> “Demokrasi daerah tidak boleh tumbang oleh ketidakdisiplinan 14 orang. Kalau mekanisme legislasi tidak diperbaiki, rakyat yang akan menanggung akibatnya.”(opx)
Artikel ini masuk dalam: Berita Daerah, Informasi Seputar Garut.













