WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Â Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
GARUT 29 Nopember 2025— Dugaan ketidakabsahan Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Garut pada 28 November kembali memicu sorotan publik. Paripurna yang mengesahkan enam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tersebut diduga tidak memenuhi ketentuan kuorum, sehingga berpotensi mengandung cacat formil dalam proses pembentukannya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pada saat pengambilan keputusan atau pengetukan palu, jumlah anggota DPRD yang hadir secara fisik di ruang paripurna tercatat hanya 17 orang, bahkan dalam hitungan menit menjelang penutupan hanya tersisa 14 orang dari total 50 anggota dewan. Angka tersebut jauh di bawah batas minimal kuorum yakni lebih dari setengah jumlah anggota DPRD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelanggaran Kuorum dan Validitas Prosedural
Pemerhati hukum kebijakan publik, Dadan Nugraha, S.H., menilai bahwa kehadiran fisik anggota saat keputusan diambil merupakan unsur fundamental dalam sahnya sebuah sidang paripurna.
> “Kuorum tidak dapat didasarkan pada tanda tangan absensi. Yang dihitung adalah siapa yang benar-benar berada dalam ruang sidang saat keputusan diambil. Jika hanya tersisa 14 atau 17 anggota, maka syarat kuorum tidak terpenuhi,” ujar Dadan.
Menurutnya, ketentuan tersebut secara tegas diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2018, khususnya Pasal 97, yang mengharuskan pengambilan keputusan dilakukan dalam kondisi kuorum penuh.
Landasan Hukum yang Berpotensi Dilanggar
Dalam analisisnya, Dadan menyoroti beberapa instrumen hukum yang relevan:
1. PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD
Pasal 97 mengatur bahwa paripurna untuk pengambilan keputusan harus dihadiri lebih dari 1/2 anggota DPRD. Kehadiran 17 atau 14 anggota tidak memenuhi syarat tersebut.
2. UU Nomor 12 Tahun 2011 jo. UU 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pelanggaran syarat formil dapat menyebabkan Perda yang disahkan kehilangan legitimasi yuridis dan berstatus batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui uji formil.
3. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Melanjutkan pengambilan keputusan dalam kondisi tidak kuorum dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui prosedur dan wewenang yang ditetapkan undang-undang.
Implikasi: Risiko Pembatalan Perda
Dadan menjelaskan bahwa proses legislasi yang tidak memenuhi prosedur formil berpotensi membuat enam Raperda tersebut keabsahan nya secara hukum patut diragukan.
> “Produk hukum yang dibentuk tanpa memenuhi syarat formil berada pada posisi rentan. Gubernur dapat menolak registrasi Raperda tersebut, dan masyarakat dapat mengajukan uji formil ke Mahkamah Agung,” katanya.
Konsekuensi yuridis yang mungkin timbul mencakup:
Penolakan registrasi oleh Gubernur Jawa Barat, Pembatalan melalui judicial review di Mahkamah Agung, Evaluasi tata kelola legislatif oleh Inspektorat atau Kemendagri.
Kebutuhan Klarifikasi dan Transparansi dari DPRD
Hingga rilis ini diturunkan, DPRD Kabupaten Garut belum memberikan keterangan resmi terkait perbedaan antara jumlah tanda tangan absensi dan kehadiran fisik saat paripurna berlangsung.
Dadan menekankan pentingnya transparansi lembaga legislatif.
> “Publik perlu mengetahui fakta sebenarnya. Integritas pembentukan peraturan daerah ditentukan oleh kepatuhan terhadap prosedur. Jika prosedur diabaikan, maka legitimasi produk hukum ikut dipertanyakan,” pungkasnya.(***)
Artikel ini masuk dalam: Legislatif, Berita Hari Ini Terkini.












