WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Â Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
GARUT, 29 November 2025
Komite Rakyat Anti Korupsi (KRAK) merilis analisis kritis terhadap proses pengesahan enam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Garut dalam Sidang Paripurna DPRD pada 28 November 2025. Proses legislasi tersebut mendapatkan sorotan tajam setelah diketahui bahwa keputusan akhir disahkan hanya dengan kehadiran fisik 17 anggota DPRD, meskipun daftar hadir memuat 44 tanda tangan.
Ketua KRAK, Andres Rampuji, menilai fenomena ini sebagai representasi defisit partisipasi legislasi, sekaligus indikator melemahnya disiplin kelembagaan dan integritas prosedural dalam pembentukan kebijakan daerah.
1. Degradasi Legitimasi Substantif dalam Proses Legislasi
Menurut Andres, legitimasi kebijakan publik tidak hanya bergantung pada pemenuhan aspek administratif, tetapi juga pada legitimasi substantif, yakni kehadiran faktual, partisipasi deliberatif, dan keterlibatan penuh anggota legislatif dalam diskursus kebijakan.
> “Ketika keputusan politik strategis hanya disaksikan oleh 17 wakil rakyat, maka proses legislasi kehilangan bobot epistemik dan legitimasi moralnya. Dalam ilmu tata kelola publik, ini disebut procedural hollowing, pelemahan makna prosedur melalui kepatuhan semu,” ujar Andres.
Ia menegaskan bahwa kuorum administratif tanpa kehadiran nyata tidak memenuhi prinsip substantive decision-making yang menjadi syarat etis legislasi demokratis.
2. Normalisasi Ketidakhadiran Substantif sebagai Gejala Kelemahan Struktur Politik
KRAK memandang pola “hadir untuk menandatangani daftar hadir namun absen dalam substansi” sebagai bentuk normalisasi ketidakhadiran substantif. Dalam kajian politik kelembagaan, ini mengindikasikan menurunnya kualitas budaya politik internal.
> “Kehadiran administratif tanpa partisipasi deliberatif adalah indikator institutional decay — pembusukan perlahan terhadap struktur tanggung jawab legislatif,” terang Andres.
KRAK menilai bahwa perilaku tersebut terjadi karena tidak adanya mekanisme penegakan disiplin fraksi yang kuat dan lemahnya fungsi kepemimpinan kolektif di DPRD.
3. Kerentanan Tata Kelola Politik: Gagalnya Mekanisme Checks and Balances Internal
Fenomena absensi massal ini, menurut KRAK, mencerminkan rapuhnya fungsi pengawasan internal fraksi dan pimpinan DPRD.
> “Fraksi bertindak sebagai gatekeeper perilaku politik anggotanya. Ketika kontrol tersebut longgar, lahirlah apa yang disebut governance vulnerability — kerentanan tata kelola yang memungkinkan keputusan strategis diproduksi tanpa proses deliberasi yang memadai,” jelas Andres.
Kondisi tersebut berpotensi menciptakan ruang bagi penyimpangan kebijakan, termasuk potensi maladministrasi dalam implementasi APBD.
4. Raperda Strategis, Prosesnya Tidak Sepadan dengan Dampaknya
Enam Raperda yang disahkan mencakup isu fundamental, mulai dari APBD 2026, penguatan ketahanan keluarga, hingga penanggulangan kebakaran daerah. KRAK menilai bahwa bobot isu yang tinggi tidak diimbangi oleh kualitas forum pengambil keputusan.
> “Dalam perspektif kebijakan publik, terdapat asymmetric seriousness: tingkat keseriusan isu tidak sesuai dengan tingkat keseriusan forum yang memutuskannya,” ujar Andres.
Hal ini, menurut KRAK, berpotensi menghasilkan regulasi yang lemah secara analitis, tidak komprehensif, dan rentan menimbulkan problem implementasi.
5. Rekomendasi Kebijakan KRAK untuk Pemulihan Integritas Legislasi
Sebagai bagian dari komitmen penguatan demokrasi lokal, KRAK mengajukan rekomendasi berbasis pendekatan tata kelola (governance-based recommendations):
a. Institusionalisasi Kehadiran Substantif
Kehadiran harus dimaknai sebagai partisipasi aktif, bukan sekadar penandatanganan daftar hadir. Diperlukan revisi aturan internal yang mempertegas indikator kehadiran substantif.
b. Reformasi Mekanisme Disiplin Fraksi
Fraksi perlu membangun sistem sanksi berjenjang yang menilai kualitas kehadiran, kontribusi argumen, serta keterlibatan dalam agenda pembahasan.
c. Transparansi Proses Legislasi sebagai Prasyarat Akuntabilitas
DPRD perlu membuka rekaman sidang, data kehadiran, dan risalah pembahasan sebagai bagian dari public accountability chain. Keterbukaan adalah instrumen utama mengembalikan kepercayaan publik.
Penutup: Restorasi Kepercayaan Publik sebagai Agenda Mendesak
Andres Rampuji menegaskan bahwa apa yang terjadi dalam Sidang Paripurna tersebut bukan sekadar insiden teknis, tetapi sinyal struktural dari menurunnya kualitas demokrasi lokal.
> “Legislasi tidak dapat diperlakukan sebagai ritual administratif. Ia adalah proses epistemik yang menentukan arah masa depan masyarakat. Ketika ruang sidang kehilangan substansinya, publik kehilangan pegangan pada legitimasi,” pungkasnya.
KRAK menegaskan komitmennya untuk terus memantau proses legislasi dan tata kelola anggaran di Kabupaten Garut secara independen, berbasis riset, dan berorientasi kepentingan publik.(opx)
Artikel ini masuk dalam: Legislatif, Informasi Seputar Garut.












