WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Â Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
DPT MENGHILANG, SURAT UNDANGAN PEMILIH BERKURANG PADA PEMILIHAN RT/RW SEKITAR MAKASSAR: ADA APA DENGAN ANGGARAN PEMERINTAH 5,4 MILYAR?
Yang seharusnya menjadi momen warga Makassar berpartisipasi dalam memimpin lingkungan sendiri malah berubah menjadi kekecewaan yang meresahkan: ribuan pemilih di Kecamatan Tamalate, Mariso, dan Rappocini mengaku tidak menemukan namanya di Data Pemilih Tetap (DPT), sementara ribuan surat undangan pemilih yang seharusnya tiba di rumah tangga malah “hilang” atau tidak cukup. Kasus ini semakin memanas ketika masyarakat Makassar mulai bertanya: mengapa masalah dasar ini terjadi di kota sendiri, padahal pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar 5,4 miliar rupiah khusus untuk penyelenggaraan pemilihan RT/RW se-Indonesia — termasuk di Sulawesi Selatan?
Kisah Kekecewaan di Setiap Perumahan dan warga Makassar
Cerita yang sama bergema dari ujung kota ke ujungnya. Di Perumahan Griya Sentosa, RT 03/RW 05, Kecamatan Tamalate, Siti Nurhaliza (32) datang ke TPS dengan penuh harapan, tapi petugas hanya menggelengkan kepala: “Maaf Bu, nama tidak ada di DPT.” Padahal, dia telah tinggal di sana selama 3 tahun, mendaftar ulang DPT pada bulan Desember lalu, dan bahkan mendapatkan stempel konfirmasi dari Kelurahan Tamalate Timur.
“Sudah 2 minggu saya tunggu surat undangan, tapi tidak ada satupun yang datang. Saya pikir ‘yaudah, cuma datang saja ke TPS, pasti dikenali petugas’. Ternyata malah gak ada nama saya. Seperti apa rasa ini? Seolah-olah saya bukan warga di sini,” ujarnya dengan nada sedih dan kesal.
Di Dusun Bontoala, RT 07/RW 04, Kecamatan Mariso, kasusnya lebih parah: dari 250 warga yang terdaftar di DPT, hanya 130 yang menerima surat undangan. Petugas kelurahan mengaku telah mengirimkan semua surat melalui relawan, tapi banyak warga menyatakan tidak pernah menerimanya. “Ada yang bilang suratnya dibawa salah rumah, ada yang bilang terjatuh di jalan — tapi kenapa jumlahnya begitu banyak? Seperti ada yang salah dalam proses pengiriman,” kata Andi Mardiansyah (38), seorang warga di sana yang juga tidak mendapatkan surat.
Di Kecamatan Rappocini, di Perumahan Permata Makassar, petugas TPS harus menghentikan proses pemungutan suara selama 1,5 jam karena terlalu banyak warga yang datang tanpa surat undangan dan namanya tidak ada di DPT. “Kita khawatir ada yang bukan warga sini tapi ikut memilih, tapi kalau tidak izinkan, mereka marah karena sudah datang jauh dari rumah. Akhirnya kita harus membuat daftar sementara, tapi itu tidak sesuai prosedur,” ceritakan Fatimah (29), ketua TPS di sana.
Data sementara dari Bawaslu Kota Makassar menunjukkan bahwa hingga hari ini, telah tercatat lebih dari 1.200 laporan tentang hilangnya DPT dan lebih dari 700 laporan kekurangan atau ketidakhadiran surat undangan pemilih di 3 kecamatan utama (Tamalate, Mariso, Rappocini) saja. Di Kelurahan Tamalate Barat, sebanyak 320 warga tidak ditemukan di DPT, sedangkan di Kelurahan Mariso Selatan, 280 warga tidak mendapatkan surat undangan.
Anggaran 5,4 Miliar: Berapa yang Sampai ke Makassar? Rincian Masih Tertutup
Setelah ditelusuri lebih lanjut, anggaran sebesar 5,4 miliar rupiah tersebut ternyata dialokasikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui APBN 2024 untuk penyelenggaraan pemilihan RT/RW se-Indonesia. Berdasarkan dokumen kerjasama antara Kemendagri dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, bagian dari anggaran tersebut — sekitar 350 juta rupiah — dialokasikan untuk pemilihan RT/RW di Kota Makassar.
Dari 350 juta rupiah itu, seharusnya dibagi untuk beberapa komponen kunci di Makassar:
1. Pembaruan dan verifikasi DPT (120 juta rupiah): Untuk pengecekan data warga, perbaikan kesalahan penulisan nama, pembaruan alamat, dan penghapusan nama warga yang pindah atau meninggal.
2. Pengadaan dan distribusi surat undangan pemilih (90 juta rupiah): Untuk pencetakan surat undangan (dengan nama dan alamat akurat) dan biaya distribusi ke setiap rumah tangga.
3. Perlengkapan TPS dan pelatihan petugas (80 juta rupiah): Untuk surat suara, amplop, meja, kursi, dan pelatihan petugas TPS serta pengawas.
4. Biaya transportasi dan pengawasan (60 juta rupiah): Untuk mengangkut perlengkapan dan memantau proses di semua TPS.
Namun, masalahnya: hingga saat ini, Pemerintah Kota Makassar dan Kecamatan terkait belum mengeluarkan laporan rinci mengenai realisasi pengeluaran masing-masing komponen tersebut. Kadis Pemerintahan Dalam Negeri Kota Makassar, H. Syarifuddin, hanya menyatakan bahwa “anggaran telah diterima dan disalurkan ke kecamatan, proses pelaporan masih berjalan”. Tapi ketika ditanya tentang berapa yang sampai ke kelurahan atau dusun, banyak pejabat hanya mengaku “tidak punya data rinci saat ini”.
Beberapa analis lokal juga menyoroti keanehan: jika 120 juta rupiah dialokasikan untuk pembaruan DPT di Makassar, mengapa masih banyak kasus nama yang hilang? Dan jika 90 juta rupiah untuk surat undangan, mengapa jumlahnya tidak cukup dan banyak yang tidak terdistribusi? “Seolah-olah anggaran itu hanya ada di kertas, bukan di lapangan warga Makassar,” ujar Dr. Zainal Abidin, ahli demokrasi dari Universitas Hasanuddin (UNHAS).
Tanggapan Pihak Berwenang: Antara Pengakuan Kesalahan dan Penolakan Tanggung Jawab
Menyadari kekhawatiran yang semakin meresahkan di kalangan masyarakat Makassar, pihak berwenang mulai memberikan tanggapan — meskipun seringkali tidak memuaskan.
Humas Pemerintah Kota Makassar, Andi Rahman, mengakui bahwa ada “beberapa kendala dalam proses pembaruan DPT dan distribusi surat undangan” di beberapa kecamatan. Dia menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh “keterbatasan tenaga relawan” dan “waktu yang terlalu pendek untuk memeriksa semua data warga”. Namun, dia menegaskan bahwa “anggaran telah digunakan sesuai dengan aturan dan tidak ada indikasi kecurangan yang terdeteksi”.
Di sisi lain, Bawaslu Kota Makassar telah mengeluarkan pernyataan tegas bahwa mereka akan melakukan penyelidikan mendalam terhadap semua kasus yang dilaporkan. “Pemilihan RT/RW adalah dasar dari demokrasi lokal di Makassar. Setiap kesalahan yang mengganggu hak pemilih harus ditindaklanjuti secara tegas,” ujar Ketua Bawaslu Kota Makassar, H. Muhammad Arif. Dia menambahkan bahwa Bawaslu akan meminta laporan rinci dari Pemerintah Kota Makassar tentang penggunaan anggaran 350 juta rupiah.
Namun, tanggapan dari beberapa pejabat kecamatan justru membuat masyarakat semakin kesal. Di Kecamatan Tamalate, seorang pejabat menyatakan bahwa “hilangnya DPT karena warga yang lupa mendaftar” dan “kekurangan surat undangan karena pencetakan yang terlambat”. Pernyataan ini langsung ditentang oleh warga, yang mengaku telah mendaftar dengan benar dan telah menunggu surat undangan selama minggu-minggu.
Dampak Mendalam: Menurunnya Kepercayaan pada Demokrasi Lokal di Makassar
Lebih dari sekadar masalah administratif, kasus hilangnya DPT dan surat undangan pada pemilihan RT/RW di Makassar memiliki dampak yang mendalam bagi kepercayaan masyarakat. RT dan RW adalah lembaga yang paling dekat dengan warga — mereka yang menang akan bertanggung jawab atas urusan sehari-hari, mulai dari keamanan, sanitasi, hingga pembangunan lingkungan seperti perbaikan jalan dan saluran air.
“Kalau proses pemilihannya tidak jujur dan tidak transparan, gimana kita bisa percaya pada RT/RW yang dipilih? Mereka bisa jadi tidak mewakili keinginan sebagian besar warga di Makassar,” ujar Rina Dewi (28), mahasiswi UNHAS yang tidak bisa memilih karena namanya tidak ada di DPT di Kecamatan Rappocini.
Beberapa aktivis masyarakat lokal juga khawatir bahwa masalah ini akan menyebabkan penurunan minat warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan lokal ke depan. “Kalau udah gini berkali-kali, pasti orang Makassar akan capek dan tidak mau ikut lagi. Itu bahaya besar untuk keberlangsungan demokrasi di kota kita,” kata Andi Prasetyo, ketua Lembaga Advokasi Masyarakat Lokal Makassar.
Selain itu, kekhawatiran juga muncul tentang penggunaan anggaran pajak warga Makassar. “Uang yang kita bayarkan pajak seharusnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk kota. Kalau anggaran 350 juta rupiah tidak menghasilkan proses pemilihan yang baik, maka ada yang salah di mana saja,” ujar Surya Wijaya (45), pengusaha kecil di Pasar Baruga.
Tuntutan Masyarakat Makassar: Transparansi Segera, Akuntabilitas, dan Perbaikan
Melihat situasi yang semakin memburuk, masyarakat Makassar semakin keras menuntut tindakan nyata dari Pemerintah Kota Makassar dan pihak terkait. Beberapa tuntutan utama yang diajukan antara lain:
1. Pemerintah Kota Makassar segera mengeluarkan laporan rinci tentang penggunaan anggaran 350 juta rupiah, beserta bukti pendukung (bukti pembelian, nota pengeluaran, dan laporan dari setiap kecamatan).
2. Bawaslu Kota Makassar melakukan penyelidikan mendalam terhadap kasus hilangnya DPT dan surat undangan di Makassar, dan memberika sanksi tegas kepada pihak yang bertanggung jawab jika ditemukan kesalahan atau kecurangan.
3. Melakukan perbaikan sistem pembaruan DPT di Makassar dengan menggunakan teknologi (seperti aplikasi pendaftaran online dan sistem cek DPT secara real-time melalui website Pemerintah Kota) agar lebih akurat dan mudah diakses warga.
4. Memperbaiki proses pencetakan dan distribusi surat undangan di Makassar dengan menunjuk pihak yang terpercaya dan melakukan pemantauan bersama masyarakat selama proses berlangsung.
5. Memberikan pelatihan yang lebih baik dan komprehensif kepada petugas TPS dan pengawas lokal di Makassar agar memahami prosedur dengan jelas.
Di beberapa kecamatan, masyarakat bahkan mengadakan rapat massa dan demonstrasi damai untuk menuntut penjelasan. Di Lapangan Alun-Alun Makassar, ratusan warga dari Tamalate, Mariso, dan Rappocini mengumpulkan diri pada hari Selasa lalu untuk meminta pemilihan ulang di TPS yang mengalami masalah serius.
Penutup: Waktu untuk Bertindak Nyata, Jangan Biarkan Harapan Demokrasi Lokal Makassar Padam
Kasus hilangnya DPT dan surat undangan pada pemilihan RT/RW di sekitar Makassar bukanlah masalah yang bisa diabaikan. Ini adalah tanda bahwa ada celah besar dalam sistem penyelenggaraan demokrasi lokal di kota kita — terutama ketika sebagian dari anggaran nasional 5,4 miliar rupiah telah dialokasikan untuk Makassar.
Kepercayaan masyarakat adalah aset paling berharga dalam demokrasi. Jika aset ini hilang, maka seluruh struktur demokrasi di Makassar akan terancam. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Makassar, Kemendagri Provinsi Sulawesi Selatan, KPU Lokal, dan Bawaslu Kota Makassar harus segera bertindak: mengungkapkan kebenaran tentang penggunaan anggaran, menindaklanjuti kasus-kasus yang terjadi, dan mengambil langkah-langkah pasti untuk mencegah hal serupa di masa depan.
Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa pemilihan RT/RW di Makassar benar-benar menjadi wadah untuk warga menyampaikan suara dan memilih pemimpin yang layak — sesuai dengan harapan dan tujuan dari demokrasi yang kita junjung tinggi, mulai dari lingkungan terkecil di kota kita yang dicintai.
Publish (DW)
Artikel ini masuk dalam: Suara Pembaca, Berita Hari Ini Terkini.













