WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
Warta Bela Negara //GARUT, Direktur Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), Ade Sudrajat, menilai kasus dugaan pelanggaran Garis Sempadan Sungai (GSS) oleh perusahaan PT JIL di Kabupaten Garut bukan sekadar persoalan izin bangunan, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penerbitan izin.
“Ini bukan masalah satu dinas atau satu perusahaan saja. Ini cermin dari buruknya koordinasi antar-instansi dan lemahnya sistem pengawasan sejak tahap perencanaan,” kata Ade Sudrajat saat dimintai keterangan, Rabu (8/10/2025).
Izin Terbit di Zona Larangan, Menurut GIPS, pelanggaran yang dilakukan PT JIL terjadi di kawasan yang seharusnya dilindungi sebagai garis sempadan sungai. Namun, pembangunan tetap berjalan karena sejumlah izin dasar diterbitkan tanpa memeriksa kesesuaian lokasi.
Ade menjelaskan, setidaknya terdapat tiga tahap besar yang gagal diawasi oleh pemerintah daerah:
1. Tahap Tata Ruang (PUPR/DPMPTSP)
Izin lokasi dan kesesuaian ruang (KKPR) disetujui padahal jelas melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan sempadan sungai. “Dari tahap awal saja sudah cacat hukum,” ujar Ade.
2) Tahap Lingkungan (DLHK)
Dokumen AMDAL atau UKL-UPL tetap disetujui tanpa kajian serius terhadap dampak lingkungan. “Kalau sungai bisa menyempit dan rawan banjir, itu tandanya DLH gagal menjalankan peran pengawasan ekologis,” tambahnya.
3) Tahap Bangunan dan Pengawasan (PBG/Satpol PP), PBG diterbitkan meski syarat teknis tidak terpenuhi, dan pengawasan di lapangan lemah. “Bangunan berdiri di zona larangan, artinya pengawasan tidak berjalan atau ada pembiaran,” ucapnya.
Maladministrasi dan Koordinasi Lemah, Ade menyebut bahwa kasus PT JIL menjadi bukti nyata maladministrasi dalam sistem perizinan di Garut. Ia menilai sejumlah dinas teknis bekerja tanpa koordinasi.
“Dinas PUPR seharusnya menjadi penjaga utama garis sempadan sungai, tapi justru memberi rekomendasi teknis. DLHK seolah hanya memeriksa kelengkapan dokumen tanpa turun lapangan. Lalu, Disperindag tetap menerbitkan izin operasional usaha tanpa mengecek legalitas dasar. Ini bentuk kegagalan kolektif,” kata Ade.
Ia juga menyoroti Dinas Perhubungan yang tetap menyetujui Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) padahal lokasi bangunan sudah bermasalah. “Kalau lokasi bangunan saja ilegal, maka dokumen ANDALALIN jadi tidak relevan. Semua proses jadi sia-sia,” ujarnya.
Kelemahan Penegakan Hukum dan Kontrol Publik Menurut GIPS, lemahnya penegakan hukum menjadi faktor utama berulangnya kasus serupa. Pemerintah baru bertindak setelah kasus ramai di publik.
“Begitu masyarakat ribut baru ada penertiban. Artinya, sistem kontrolnya reaktif, bukan preventif,” kata Ade. Ia menambahkan, sanksi tidak boleh hanya menyasar pihak swasta.
“Pejabat yang menandatangani izin bermasalah juga harus diperiksa. Kalau tidak, pelanggaran seperti ini akan terus berulang.”
Dorongan untuk Reformasi Sistem Perizinan, Ade Sudrajat menyerukan agar Pemerintah Kabupaten Garut segera melakukan reformasi sistem perizinan terpadu (DPPTSP atau MPP). Menurutnya, perbaikan harus dimulai dari mekanisme check and balance antar-dinas, agar setiap dokumen izin bisa saling diverifikasi sebelum disahkan.
“Jangan jadikan perizinan hanya formalitas. Perlindungan tata ruang dan lingkungan harus lebih diutamakan dibanding kepentingan investasi sesaat. Karena kalau sungai rusak, yang paling dirugikan adalah masyarakat,” tutup Ade.(opx)
Artikel ini masuk dalam: Berita, Berita Daerah, News, Berita Terkini Terbaru.