WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Â Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
Wartabelanegara.Com_Polman_Sabtu_(6/12/2025)
Oleh : Muh. Sukri (Pengamat Kebijakan Daerah)
Pantai Mampie seakan sedang menulis surat panjang kepada manusia, huruf demi hurufnya diguratkan oleh ombak yang sabar sekaligus keras kepala, Setiap gelombang adalah tekanan tinta, dan setiap butir pasir yang hilang adalah tanda baca yang mengingatkan bahwa sesuatu sedang tidak beres, namun seperti teks akademik yang terlalu sering dilewati tanpa dicermati, isi surat itu terus diabaikan.

Dalam metafora ekologi pesisir, abrasi bukan sekadar peristiwa fisik—ia adalah dialog antara alam dan manusia yang putus di tengah kalimat, Pada satu sisi, laut mengajukan argumen yang kuat: kenaikan muka air, perubahan angin muson, dan energi gelombang yang meningkat, pada sisi lain manusia menyisipkan catatan kaki yang tidak kalah signifikan: penebangan vegetasi pantai, pengambilan pasir, konversi lahan tanpa kajian daya dukung, serta pembangunan yang menularinya dengan “bias keuntungan jangka pendek”.
Mampie, dalam konteks akademik, adalah “ruang laboratorium terbuka” tempat teori-teori geografi pesisir, perubahan iklim, ekonomi lokal, dan tata kelola bertemu, saling mengoreksi, namun juga saling menyalahkan. Garis pantai yang mundur itu bukan sekadar angka dalam peta; ia adalah regresi yang dapat dibaca sebagai kurva gagal dari manajemen pesisir yang tidak holistik.
Jika dianalogikan sebagai manuskrip, Mampie adalah naskah yang pernah kaya akan catatan margin berupa vegetasi mangrove dan cemara laut, namun seiring waktu, catatan penjelas itu dihapus satu per satu, tanpa anotasi ekologis, tubuh teks kehilangan konteksnya, membuat pantai menjadi halaman kosong yang rapuh. Di titik ini, abrasi bekerja seperti editor yang terlalu tegas, menghilangkan bagian demi bagian dari naskah daratan, hingga halaman pesisir perlahan habis.
Masyarakat yang tinggal di tepi pantai hanyalah pembaca setia yang tidak pernah diminta pendapatnya, setiap musim angin barat tiba, mereka seperti sedang membuka bab baru yang tidak ingin dibaca: rumah yang terancam ambruk, tambak yang tergenang, jalan lingkungan yang berubah menjadi garis miring dalam teks yang terhapus.
Sebenarnya, pantai tidak pernah menuntut banyak, Ia hanya meminta kita membaca kembali bab yang terlewat dan menulis ulang paragraf yang salah, dalam bingkai akademis, solusi bukan sekadar struktur teknis seperti revetment atau breakwater; melainkan rekonstruksi narasi ekologis—mengembalikan vegetasi pantai, memulihkan zona lindung, menyusun tata ruang berbasis bukti, serta membangun kolaborasi lintas sektor yang menerjemahkan teori menjadi tindakan.
Mampie hari ini sedang mengajarkan satu pelajaran penting: bahwa ruang hidup bukan sekadar lanskap, melainkan teks kompleks yang menuntut pembacaan multilapis, abrasi adalah korektor yang bekerja tanpa kompromi; ia akan terus mengedit naskah pesisir hingga manusia memahami maksudnya.
Jika kita tidak segera memperbaiki paragraf-paragraf yang salah, Pantai Mampie mungkin akan mengirimkan surat terakhir—sebuah epilog tentang hilangnya ruang, identitas, dan masa depan.
Artikel ini masuk dalam: Berita Daerah, Editorial, Ketika Pantai Menulis Surat Panjang, Metafora Abrasi Mampie, Sosial.












Tinggalkan Balasan