WBN- WARTABELANEGARA.COM | Objektif - Informatif - Edukatif : Â Berita Terkini, Terbaru , Terpercaya.
GARUT — 2 Desember 2025
Pengesahan enam Raperda oleh DPRD Kabupaten Garut kembali menyisakan kontroversi. Pada Jumat (28/11), ruang sidang utama tampak lengang ketika keputusan penting diketuk. Dari 50 anggota dewan, hanya 17 yang benar-benar berada di tempat. Ketua DPRD Garut, Aris Munandar, bahkan mengakui kepada Priangan Insider bahwa momen krusial sempat hanya dihadiri 13 orang.
Kenyataan ini semakin buram ketika sejumlah anggota DPRD justru ditemukan nongkrong di sebuah kafe yang berada tepat di sebelah gedung dewan. Sementara para legislator menikmati kopi, sidang tetap berjalan—dan enam Raperda disahkan begitu saja.
Ade Sudrajat: “Kalau Sidang Boleh Dititip Absen, Tinggal Bikin Legislasi Sistem Layanan Cepat Saja Sekalian”
Ketua Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS), Ade Sudrajat, menjadi sosok paling vokal menanggapi situasi ini. Ia melontarkan kritik pedas yang menyentil keras perilaku legislatif.
> “Ada 44 tanda tangan, tapi yang hadir hanya 17. DPRD itu bukan parkiran koper. Kalau mau dititip absen, sekalian buat layanan drive-thru saja,” sindir Ade.
Ia menyebut kondisi tersebut sebagai kuorum semu—praktik yang menjadikan administrasi sebagai topeng kehadiran, padahal ruang sidang kosong.
> “Yang hadir di kertas itu daftar nama. Yang hadir di ruang sidang itu kenyataan. Legislasi kok dibangun pakai ilusi?” tambahnya.
“Hadir untuk Absen”: Kebiasaan yang Jadi Lelucon Baru
Ade Sudrajat juga menyoroti budaya anggota DPRD yang datang hanya untuk menandatangani daftar hadir, lalu menghilang seperti ritual rutin.
> “Ini bukan sidang, ini ritual absen massal. Datang, teken, kabur. Kalau begini terus, apa bedanya dengan stempel otomatis?” katanya.
GIPS menilai keberadaan anggota yang nongkrong di kafe saat sidang berlangsung adalah bentuk cemoohan terbuka kepada tugas mereka sendiri.
Fraksi Tak Berwibawa, Pimpinan Tak Bertaji
Ade juga menyentil tajam lemahnya fraksi dan pimpinan DPRD dalam mengatur anggota.
> “Fraksi itu harusnya punya taring. Tapi kalau anggota bebas keluar-masuk seperti kantin sekolah, ya jelas pimpinan dewan kehilangan kendali,” ujar Ade.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa manajemen politik internal DPRD saat ini sudah tidak berjalan.
Raperda Penting, Kehadirannya Menggelikan
Kritik semakin menguat karena Raperda yang disahkan bukan regulasi kecil. Salah satu yang paling strategis adalah APBD 2026, fondasi arah kebijakan anggaran daerah.
> “Yang diputuskan itu anggaran ratusan ribu kepala keluarga. Tapi yang hadir cuma 17. Ini bukan rapat penting—ini seperti gladi resik yang dipaksakan jadi final,” terang Ade.
Ia menegaskan bahwa minimnya kehadiran anggota berpotensi melemahkan legitimasi produk hukum yang mereka hasilkan.
Tiga Sindiran-Saran dari Ade Sudrajat
1. Hadir Itu Bukan Gimmick Politik
> “Kalau malas duduk di ruang sidang, mungkin kursi DPRD memang bukan tempatnya.”
2. Fraksi Harus Benar-Benar Mengatur, Bukan Sekadar Mengumpulkan Foto
Ade menegaskan perlunya disiplin internal yang nyata, bukan hanya simbolis.
3. Buka Semua Data Kehadiran
> “Dengan keterbukaan, masyarakat akan tahu siapa yang bekerja, siapa yang cuma numpang tanda tangan.”
Penutup: “Ruang Sidang Kosong Itu Cermin, dan Cerminnya Retak”
Ade menutup dengan pernyataan yang menggambarkan betapa dalamnya kekecewaan publik:
> “Ruang sidang kosong itu sebenarnya cermin. Dan ketika kita lihat, yang tampak adalah wajah politik yang mulai kehilangan rasa malu. Kalau ini dibiarkan, yang jatuh bukan hanya wibawa dewan—tapi martabat demokrasi Garut.”
GIPS memastikan akan terus memantau dan merilis analisis kritis terhadap proses legislasi di Kabupaten Garut demi memastikan publik tidak terjebak dalam “demokrasi formal tanpa isi”.(***)
Artikel ini masuk dalam: Daerah, Informasi Seputar Garut.













